http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
Di
dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang
sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu,
seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek
hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi
norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etika.
Aspek
etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar
profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang
diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya.
Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang
memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan
menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum,
padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi
adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian
pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan
juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan
terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter
atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai
akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga
membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin
tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil
dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya
layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak
toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh
ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites,
yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu.
Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk
sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak
dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM.
Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku
dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World
Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik
Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri
sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan
mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1]
Selain
Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan
arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai
baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis
dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya
kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman
bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai
materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan
profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak
pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan
etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip
moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan
kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam
membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak
dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian
pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita
pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis
seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI
(Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat,
wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat
sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia
Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar
profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit
didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada
dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya”
akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu
pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam
bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban
menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten)
dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh
MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut
melanggar etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam
hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai
pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK
bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi
yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin
profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan
menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi
kedokteran.
MKDKI
bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah
“disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari
pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI
dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan
meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses
persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan
jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan
oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana
dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter
tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik)
dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa
adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang
telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah
oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan
MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau
perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak
menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara
pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan
pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan,
baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak
terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para
ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2. Dokumen
yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/
brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan
berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat
kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay
dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian
keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan
sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi
tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2]
Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan tandatangan
dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri
dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam
persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan
bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak
harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence
dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa
tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat
masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan
semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
Perkara
yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di
MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik
dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat
berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai
istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah
tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai
pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun
pencabutan ijin praktik. [3]
Putusan
MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah
pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang
anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik,
kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak
terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi
Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP,
eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila
eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah
menjalankan putusan.
Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)
Dari
99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan
karena berbagai hal – sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara
pengadu dengan teradu untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi.
Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14 %), juga karena beberapa hal,
seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi MKEK
(bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah
menjadi sengketa hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian
hanya 74 kasus (75 %) yang eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI
Jakarta.
Dari
74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa
pada 24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 %
dari seluruh kasus pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan
atau pelanggaran disiplin profesi. Namun perlu diingat bahwa pada
kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat pula
kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus
pelanggaran etik dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung
es).
Dari
24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar
diputus telah melanggar pasal 2 yang berbunyi “Seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi”.
Pasal
lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi “Setiap
dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri”, pasal 7 yang berbunyi “Seorang dokter hanya memberi surat
keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”, dan
pasal 12 yang berbunyi “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar